Rabu, 11 Desember 2019

being an INFJ

today, i'll share some of my personal thought of being an INFJ.

dulu, tepatnya saat aku masih duduk di kelas 11 SMA-mungkin, aku pernah mengikuti tes kepribadian di salah satu situs terkenal. saat itu, aku menemukan bahwa kepribadianku adalah ISFJ. saat itu, aku sempat berpikir kalau itu benar, dan memang aku lebih mengutamakan sensing dan feeling. tapi, tanpa kuduga, semuanya bisa berubah.

menginjak dunia perkuliahan, iseng, aku mencoba mengambil tes itu lagi. dan mengejutkan, hasil yang kudapatkan berubah. aku mendapati menjadi seorang INFJ. entah hanya kebetulan atau memang kepribadian bisa berubah seiring berjalannya waktu-aku masih tidak tahu. tapi, hanya satu hal yang aku tahu. menjadi INFJ tidaklah semenyenangkan yang aku bayangkan. INFJ-hanyalah bentuk lebih menyeramkan dari ISFJ. INFJ-hingga kini masih menjadi salah satu anugrah dan mimpi buruk terbesarku.

berdasarkan artikel yang baru saja kubaca, menjadi INFJ berarti "too emotional for the thinkers, but too logical for the feelers". ya, mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan banyak INFJ di luar sana. kita mungkin sedikit keterlaluan.

biar kuberitahu salah satu rahasia INFJ. aku sering bertengkar dengan diriku sendiri. aku lebih sering memarahi diriku sendiri daripada aku marah ke siapapun. aku menyayangkan banyak tindakan yang dilakukan oleh diriku di masa lampau. bahkan aku menyalahkan diriku atas tindakan yang kulakukan beberapa menit yang lalu. contoh kecilnya, sebagai INFJ yang memiliki darah ayah yang pendiam dan ibu yang cerewet, bebanku menjadi - jadi. aku sering sekali memarahi diriku sendiri yang suka lupa diri dan tertawa terlalu keras di depan umum. aku sering memarahi diriku sendiri yang terlalu banyak bicara di hadapan teman - temanku. tapi, seberapapun seringnya aku memarahi diriku sendiri, aku masih tidak dapat mengontrol hal itu. ya, dua sisi yang berlawanan ini kurasa pelan - pelan membunuhku.

lalu, ada lagi yang selanjutnya. aku lelah mengenakan topeng. aku lelah menggunakan persona - persona untuk bertemu dengan orang yang berbeda - beda. aku juga ingin diterima apa adanya. tapi, aku terjebak dengan prinsip yang ditanamkan ke otakku sejak dini. mereka bilang, berbuat baiklah karena kau ingin menjadi baik. pikirku, tentu saja aku ingin menjadi baik, tapi bukan dengan topeng - topeng ini. aku ingin, sekali saja, bukan hanya INFJ yang bisa peka, tapi orang lain setidaknya juga bisa memahami apa yang tidak bisa dikatakan. aku ingin sekali saja orang orang bisa memahami apa - apa saja yang selalu tertahan, yang tidak bisa kukeluarkan.

aku hanya tidak ingin menyakiti orang - orang.

tapi dengan bodohnya, aku malah menyakiti diriku sendiri.

-April

Share:

Senin, 02 Desember 2019

the meaning of friendship


halo. kurasa aku insomnia karena teh yang kubeli sore tadi. lalu sekarang, alih - alih berusaha keras untuk tidur, aku lebih memilih untuk mencoba menuliskan hal yang terbersit saat menonton minangfest malam ini. tentang pertemanan.

dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku mulai belajar bagaimana berkenalan dengan orang lain. namun, di bangku awal sekolah dasar, bentuk pertemanan yang kutemui bukanlah bentuk pertemanan yang sehat, yang kurasa masih ada hingga saat ini. para gadis menggerombol membentuk grupnya sendiri. begitu pula siswa laki - laki. siapapun yang tidak memiliki grup akan otomatis terkucilkan dan tidak mendapatkan kesempatan untuk berteman. begitulah faktanya, walaupun sedikit menyedihkan. lalu di tahun - tahun berikutnya, aku mulai disodorkan fakta bahwa aku ada hanya untuk dimanfaatkan. dan yang bisa kulakukan saat itu hanyalah diam, karena aku tahu kalau aku bersuara lebih keras, maka mereka akan meneriakiku lebih lantang. jangan salah paham, aku tidak menyebut semua temanku jahat, tidak. ada beberapa yang sangat baik, yang masih kukenang hingga saat ini.

kini, aku duduk di bangku perkuliahan. dunia ini, ternyata tidak semenyenangkan yang kukira. aku dihadapkan kepada permasalahan yang jauh lebih kompleks, jauh dari apa yang aku duga. aku ingat, saat duduk di bangku sekolah menengah pertama dan atas, kurasa kehidupan pertemananku baik - baik saja. tapi, saat ini, entah kenapa, semuanya terasa sangat rumit. masalah kecil saja bisa menjadi beban hingga berbulan - bulan. sedikit kesalahpahaman bisa menghancurkan hubungan. lalu, aku mulai bertanya - tanya (lagi) dengan diriku sendiri.

apakah hanya aku yang berlebihan?

atau memang beginilah jalannya kehidupan?

aku lelah dengan masalah yang terus dibesar - besarkan. aku lelah dengan segala kepura - puraan dalam pertemanan. aku lelah terus berusaha menghargai orang - orang yang bahkan selalu bersikap seenaknya sendiri. aku, mulai lelah dengan orang - orang ini. jadi, bisakah aku menyerah kepada kalian?

-April
Share:

Minggu, 01 Desember 2019

it's been almost two year


Musim kemarau terlalu panas. Musim hujan terlalu dingin. Tidak ada yang sesuai. Tidak ada yang sama dengan siklus yang seharusnya. Seperti saat ini. 

Beberapa hari ini aku mengingat kembali wanita itu secara intens. Sorot matanya masih sama. Senyumnya dan kalimat menenangkannya masih sama saat aku kemarin kembali mengobrol dengannya, di sebuah pertemuan yang menghangatkan. 

Berawal dari keputusasaan, Tuhan akhirnya mengizinkanku untuk berjumpa kembali dengannya pada dini hari di akhir bulan November. Masih teringat jelas di benakku bagaimana aku merengek seperti anak kecil, bercerita tentang nilai ujian yang kudapatkan. Sementara wanita itu dengan tenang mendengarkan.

"Ma, nilai responsiku sudah keluar. Dua nilai ujianku bagus, tapi yang satunya rendah sekali. Tidak apa - apa kan?" tuturku sedikit memelas.

"Tidak apa - apa." ucapnya sambil memelukku. 

Pelukan itu, walaupun terasa tidak nyata, tapi bagiku tidak apa - apa. Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku bisa menemui pelukan yang kurindukan berbulan - bulan. Akhirnya, aku sedikit membaik setelah teringat kehilangan.

Lalu, 3 hari lagi hari itu akan datang. Tidak, aku tidak menganggapnya sebagai hari yang buruk. Aku akan berusaha mengenangnya dengan hangat. Mengingat sisa - sisa waktu yang kumiliki bersama wanita itu, walaupun aku tahu tidak banyak lagi yang bisa kuingat karena ingatanku terus mengabur setiap tahunnya. Tapi, hanya satu yang kuharapkan. Tuhan, izinkan aku terus mengingat wajahnya. Wajah teduh yang dihiasi senyuman hangat wanita itu. Ibu. 

-April
Share: